Jawa Pos - Sejarah Jawa Pos

             Jawa Pos adalah surat kabar harian yang berpusat di Surabaya, Jawa Timur. Jawa Pos merupakan harian terbesar di Jawa Timur, dan merupakan salah satu harian dengan oplah terbesar di Indonesia [butuh rujukan]. Sirkulasi Jawa Pos menyebar di seluruh Jawa Timur, Bali, dan sebagian Jawa Tengah dan DI Yogyakarta.

SEDIKIT CERITA SEJARAH JAWA POS DAN DAHLAN ISKAN

              JAWA POS sebenarnya sebuah koran tua. Koran ini didirikan 1 Juli 1949 oleh pasangan suami isteri The Chung Shen alias Soeseno Tedjo dan Mega Endah. Om The dan Tante The, begitu bapak dan ibu ini dipanggil, pernah menjadi "raja koran" Indonesia karena memiliki tiga koran yang diterbitkan dalam tiga bahasa: Java Post, koran beraksara Cina Hwa Chiao Sien Wen dan koran berbahasa Belanda de Vrije Pers. Koran berbahasa Cina yang antikomunis itu akhirnya ditutup ketika Partai Komunis Indonesia makin kuat berpengaruh, sedangkan yang berbahasa Belanda diubah jadi koran berbahasa Inggris, Indonesian Daily News. Koran ini ditutup karena kesulitan mencari redaktur dan Dahlan kini mencoba menghidupkannya kembali.
              Di zaman Orde Baru, koran Java Post, yang kemudian jadi Djawa Post, dan terakhir bernama Jawa Pos, terus mengalami kemunduran. Pada 1982, sirkulasi koran pagi itu cuma sekitar sepuluh persen dari tiras koran harian sore Surabaya Post. Anak-anak keluarga The, yang disekolahkan di Inggris, ternyata enggan balik ke Indonesia untuk melanjutkan usaha koran ini. Sementara Om dan Tante The merasa makin dirongrong usia sehingga memutuskan menjual Jawa Pos agar ada yang meneruskan.
              Kebetulan mereka bertemu direktur utama PT Grafiti Pers Eric Samola yang sedang berambisi melakukan ekspansi. Samola mulanya ingin menerbitkan sebuah majalah tandingan Tempo, seperti yang pernah dicoba Bur Rasuanto. "Daripada orang lain yang bikin, kan lebih baik kita," kata Samola. Ketika itu, dengan oplah sekitar 25 ribu per minggu, majalah Tempo sudah mampu menggaji karyawannya dengan baik, memberi bonus, membelikan mobil dan sepeda motor untuk redaksi, bahkan sudah punya uang nganggur beberapa ratus juta yang didepositokan di bank. Pucuk dicinta, ulam pun tiba, ketemu koran Jawa Pos langsung dibeli.
              Tak jelas berapa transaksi pembelian seluruh saham keluarga The di PT Jawa Pos itu, tapi yang pasti modal kerja yang dianggarkan bagi Dahlan Iskan untuk meneruskan koran itu cuma Rp 45 juta. Pengucuran dana tidak sekaligus, tapi setetes demi setetes sesuai kebutuhan. Dahlan tidak protes tapi justru berupaya irit. Hingga, ketika PT Jawa Pos mampu mandiri dalam keuangan, modal dari Tempo yang terpakai tak sampai Rp 30 juta.
              Kemandirian Jawa Pos itu tidak datang begitu saja. Dahlan dan seluruh staf lama Jawa Pos kerja keras dan kerja lebih keras. Begitu jadi pemimpin redaksi Jawa Pos, Dahlan menurunkan semua ilmu yang diperolehnya di Tempo kepada semua wartawan Jawa Pos. Sistem kerja wartawan Jawa Pos, yang tadinya hanya menantikan siaran pers atau undangan pertemuan pers, diubahnya jadi sistem mengejar dan menggali berita. Pola ini sangat membutuhkan perencanaan. Feature dan analisis berita yang sebelumnya tak tersentuh, digalakkan, posisinya disejajarkan dengan berita-berita hunting dan running news.
              Redaksi yang biasanya sore-sore sudah pulang, diwajibkannya bekerja atau minimal siaga sampai pukul dua dinihari. Kalau ada peristiwa istimewa, wartawan disuruh ke lapangan sampai pukul 24.00. Pada jajaran redaksi juga ditanamkan semangat dan perasaan bangga bahwa mereka bukan lagi bekerja di koran daerah, tapi koran nasional. Pengiriman wartawan ke luar negeri pun dikembangkan. "Patut dikenang, hasil pengiriman Nany Wijaya ke Filipina secara nyata menaikkan oplah sebesar 40 ribu eksemplar, sekaligus menandai bermulanya citra baru Jawa Pos," kata Dahlan, mengacu pada reportase Nany saat diktator Ferdinand Marcos terpaksa turun gara-gara demonstrasi rakyat Filipina.
              Para karyawan di bagian tata letak juga dikendalikannya dengan keras. Mereka harus bekerja tanpa kursi, harus kerja sambil berdiri terus mulai pukul dua siang sampai tiga dini hari. Setiap dini hari Dahlan datang dengan penggaris dan memukul-mukul meja supaya tata muka cepat selesai. Kalau terlambat, Dahlan tidak segan memukul paha karyawan.
              Peningkatan kinerja produksi tidak otomatis membuat pasaran membaik. Sistem kerja redaksi sudah ditingkatkan, rupa dan penampilan Jawa Pos juga sudah dipercantik, tapi para agen koran ternyata tidak mau jual. Dahlan gemas dan memeriksa pemasaran. Ia mendatangi para penjual dan agen-agen koran untuk mencari tahu ada apa dengan Jawa Pos. Rupanya, selama itu korannya tidak dikenal. Ketika dibeli Tempo, sirkulasi Jawa Pos cuma 6.800 eksemplar. Dari jumlah itu, pelanggannya hanya 2.400 orang, sisanya dibagikan pada berbagai instansi pemerintah. Tidak ada yang dijual di pasar eceran.
              Dahlan lalu membujuk agar kios-kios pedagang koran mau memajang Jawa Pos. Kalau tidak laku, boleh di-retour (kirim kembali). Mereka ternyata malas mengisi formulir retour. Dahlan lalu memutuskan perlu membangun jalur pemasaran sendiri. Ia menyuruh keluarga karyawan ikut memasarkan Jawa Pos, juga merekrut anak sekolah menjajakan Jawa Pos di jalan-jalan dengan imbalan dibayarkan biaya sekolahnya. Kiat ini berhasil. Jawa Pos mulai dilirik, mulai laku sehingga anak-anak sekolah yang menjajakan koran itu mulai terrangsang dengan sistem komisi sekian persen dari hasil penjualan.
              Pasar pelanggan tetap mulai terbentuk berkat upaya keluarga karyawan yang ikut menjual koran Jawa Pos. Istri Dahlan pun, Nafsiah, sangat getol mencari langganan. Menurut Hadiaman Santoso, ketua Persatuan Wartawan Indonesia cabang Jawa Timur, Nafsiah Dahlan pernah menggaet sampai 3.500 pelanggan. "Dengan itu saja, keluarga Dahlan sudah bisa hidup makmur," komentar Hadiaman, yang juga redaktur senior harian Surya, koran yang sempat ditakuti Dahlan karena harian ini diterbitkan di Surabaya oleh dua raksasa pers Jakarta: Kompas dan Pos Kota.
              Memegang agen untuk 3.500 pelanggan jelas merupakan lahan penghasilan besar. Ketika saya mengikuti Dahlan dalam kunjungannya pada agen koran Pontianak Post pukul tiga pagi, saya dengar Dahlan menasihati mereka agar berupaya mendapatkan pelanggan minimal 200, "Kalau punya 200, itu sudah bisa hidup untuk keluarga dan itu bisa diwariskan ke anak cucu." Ya, hitung saja, jika satu koran berharga Rp 1.500 dengan komisi 40 persen, agen mendapat Rp 600 per eksemplar per hari. Jika ia mendapatkan 200 pelanggan, berarti pendapatan setiap hari Rp 120 ribu, jelas itu suatu jumlah yang cukup untuk belanja sehari-hari. Lha, bayangkan kalau Nafsiah punya 3.500 pelanggan, berapa penghasilan hariannya?
              "Ah, itu bohong. Tak pernah sebanyak itu, cuma sekitar seribu pelanggan kok, tapi sudah kami bagikan-bagikan kepada orang lain. Sekarang saya pegang tinggal 500 pelanggan, tidak punya cukup waktu lagi," ujar Nafsiah. Jawabannya belum selesai. "Langganan 500 itu kami pertahankan sekadar untuk ngecek-ngecek apakah koran terlambat tiba di agen? Apakah pembayaran dari langgaran lancar atau tidak? Kalau ada yang jadi bos (maksudnya Dahlan Iskan), harus ada yang jadi kulinya di pasar," kelakar ibu dari Asrul Ananta Dahlan dan Isna Dahlan itu.
              Kendati sudah makmur dan punya mobil dinas Mercedes Benz berpelat nomor polisi L-1-JP, Dahlan Iskan sekeluarga ternyata masih tinggal di kompleks perumahan kelas menengah Tenggilis Mejoyo, Surabaya. "Itu bukan kompleks perumahan mewah," kata seorang sopir taksi yang saya tanyai.
              Dahlan masih biasa hidup prihatin. Ketika krisis moneter tahun 1997 mulai menghantam, ia menyuruh para karyawan hidup hemat. Agar semua karyawan menghayati krisis moneter, ada larangan untuk bertepuk tangan di Jawa Pos. Dahlan dan direksi memberi contoh dengan merumahkan semua mobil mewah. Dan, untuk ke kantor, Dahlan yang suka mengebut itu memakai sedan Bimantara bekas, atau menumpang kendaraan sirkulasi Jawa Pos. Kacamatanya yang patah pun tidak dibetulkannya. Putrinya, Isna yang dulu kuliah di Amerika Serikat, ditariknya kembali kuliah di Surabaya. Untunglah putranya, Asrul Ananta, sudah lulus kuliah ekonomi manajemen di Amerika. Ananta kini menjadi wartawan Jawa Pos yang mengisi rubrik anak-anak muda. (Sejak 2005 Asrul Ananda resmi menjadi pemimpin redaksi Jawa Pos--editor.)
              Jawa Pos juga memakai penggarapan pasar secara blok sejak lima tahun pertama (1982-1987). Blok pertama Surabaya, kedua Malang, kemudian Jember, dan seterusnya ke timur. Demikian pula ke barat sampai Jawa Tengah. Ditunjang sistem pemasaran macam ini, koran-koran pendatang baru, macam Surya, menjadi sulit bersaing dengan Jawa Pos. Pada 1993 muncul harian Surya dari konsorsium Kompas dan Pos Kota. Ini membuat Jawa Pos merasa dapat musuh berbahaya. Perang itu memang terlihat di jalanan. Menurut Hadiaman, poster-poster Surya sering ditutup poster Jawa Pos. Belakangan saya dengar harian Kompas berupaya menyusup ke langganan Jawa Pos dengan menawarkan, jika mau berlangganan Kompas, akan diberi lampiran koran Jawa Pos gratis. "Jika itu benar, pasti bukan kebijakan koran KOMPAS. Saya pikir itu permainan agen saja," komentar Dahlan.
              Sebagai langkah pamungkas, Jawa Pos membeli mesin cetak sendiri dengan sistem sewa beli. Dengan demikian, kualitas produk menjadi sempurna luar dalam, isi maupun kulitnya. Dalam akhir lima tahun pertama, Jawa Pos sudah jadi koran spektakuler. Oplah mencapai 126 ribu eksemplar dengan omset tahunan melejit sampai Rp 10,6 miliar atau 20 kali lipat dari omset tahun pertama pada 1982.
              Pada tahap lima tahun kedua (1987-1992), Jawa Pos terus memantapkan pasar. Kalau tadinya koran itu hanya dibeli kelas menengah bawah, Dahlan berupaya memperbaiki citranya untuk bersaing dengan Kompas di kalangan menengah atas. Untuk itu ia mengkampanyekan Jawa Pos sebagai 'koran nasional yang terbit dari Surabaya', dan menempatkan tenaga khusus di luar negeri. Pada 1992, oplah Jawa Pos mencapai 300 ribu eksemplar per hari dengan omset Rp 38,6 miliar.
Bahkan sampai sekarang pun Dahlan Iskan masih melakukan macam-macam upaya. Ia populer bukan cuma di antara para pendukung klub sepakbola Persebaya. Ia juga dekat dengan para pengusaha keturunan Tionghoa di Surabaya.
*****
              SEJAK lima tahun pertama, Jawa Pos sudah melebarkan sayap di luar Pulau Jawa. Samola dengan membawa bendera Jawa Pos pergi ke kampungnya, Manado, dan mencoba membuka koran Cahaya Siang. "Bikin koran, kok, namanya Cahaya Siang," celetuk pemimpin redaksi Tempo Goenawan Mohamad. Entah karena namanya atau sebab lain, usaha itu berantakan. Upaya Dahlan untuk ke Samarinda bekerjasama dengan korannya yang dulu, juga ditolak mentah-mentah. Dari pengalaman itu, Jawa Pos lebih berhati-hati melakukan ekspansi bisnis media dan melirik bisnis nonmedia. Masuknya Jawa Pos ke usaha nonmedia juga disebabkan lambatnya pertumbuhan bisnis media. Asetnya sulit jadi besar. "Sebab, pabriknya adalah manusia. Mesin-mesinnya yakni wartawan," kata Samola.
              Itu sebabnya Samola bersama Dahlan masuk ke sektor realestat, perhotelan, dan perbankan. Ternyata sektor nonmedia ini juga tak mengalami kemajuan pesat. Bahkan usaha perbankan yang dicoba dirintis Jawa Pos bersama Nahdlatul Ulama dan Bank Summa lewat bank perkreditan rakyat Nusumma, akhirnya ditinggalkan Jawa Pos. Mereka melirik lagi bisnis media di luar Pulau Jawa.
Banyak orang mengira ekspansi Jawa Pos ke daerah cuma dengan modal mesin-mesin cetak bekas. Apakah benar begitu? "Kami bergabung dengan Jawa Pos tahun 1985 hanya karena haus akan informasi yang benar dan akurat. Itu hanya bisa diperoleh apabila bisa mendapatkan akses berita ke pusat," kata Alwi Hamu, yang mendirikan harian Fajar bersama Yusuf Kalla dan Sinansari Ecip di Makassar. Untuk kawin dengan Jawa Pos, Alwi dan kawan-kawan ikhlas melepaskan 41 persen saham mereka kepada Jawa Pos, 20 persen untuk karyawan dan tinggal 39 persen untuk pemilik lama. Dari perkawinan itu, Fajar mendapatkan laporan berita dari Jakarta dan seluruh Jawa. Selain itu, beberapa wartawan Fajar diberi kesempatan magang kerja di Jawa Pos Surabaya. Maka jadilah Fajar koran terbesar di Indonesia bagian timur dengan tiras sekitar 30 ribu eksemplar.
              Alwi Hamu mengatakan Jawa Pos masuk PT Media Fajar tanpa membawa mesin percetakan bekas, sebab koran Makassar ini sudah punya percetakan. Justru Jawa Pos yang memodali Fajar membeli lahan sekitar satu hektar yang kini jadi kantor pusat Fajar, serta mesin cetak Goss Community.
              Belakangan setelah gagal dengan Cahaya Siang, Jawa Pos mengambil Manado Post, yang ketika itu terlilit utang sekitar Rp 1 miliar pada sebuah bank pemerintah. "Saya bilang mau ambil, asal bank mau kasih tambahan utang Rp 500 juta," tutur Alwi. Dengan demikian Jawa Pos mulai mengelola Manado Post dengan utang Rp 1,5 miliar.
              Imawan Mashuri yang memulai kariernya sebagai wartawan artis hingga menjabat koordinator liputan Jawa Pos ditempatkan Dahlan di Manado Post dan dengan tegas diterapkan sistem manajemen Jawa Pos. Tak urung sekali waktu ia berhadapan dengan anak buah yang menodongkan pistol. Tapi Imawan sukses menjadikan Manado Post sebagai koran terbesar di Sulawesi Utara sehingga utang-utang perusahaan itu bisa dilunasi. Kini ia menjadi "kuda andalan" Dahlan yang bertanggung jawab mengelola bisnis properti kelompok Jawa Pos (Graha Pena, hotel di Batam dan Nusa Tenggara Barat) dan persiapan delapan televisi lokal yang akan dibangun di delapan markas "kapal induk" Jawa Pos.

Nemo enim ipsam voluptatem quia voluptas sit aspernatur aut odit aut fugit, sed quia consequuntur magni dolores eos qui ratione voluptatem sequi nesciunt.

Disqus Comments